Hari ini saya kembali melihat siswa berseragam putih merah dengan santainya mengepulkan asap rokok ke udara…pufh…santai…kayak di pantai. Dan entah kenapa saya jadi teringat dengan sebuah berita tentang anak balita yang kecanduan rokok, jika anda tidak ingat atau tidak sempat membaca….mari saya ingatkan. Akhir tahun 2010 Kompas pernah merilis berita tentang seorang anak berumur 2,9 tahun yang kecanduan rokok lantaran sering bermain dilingkungan para perokok aktif (lihat Kompas Minggu, 12 Desember 2010). Komnas perlindungan pada pertengahan 2010 juga mencatat bahwa ada 6 kasus balita yang terindikasi kecanduan rokok (lihat Kompas Jumat, 25 Juni 2010). Menyedihkan…T.T
Jadi siapa yang harus di salahkan, awalnya mungkin kita akan menyalahkan orang tua, kemudian orang tua akan menyalahkan dunia pendidikan berikut para pendidiknya, kemudian para pendidik menyalahkan peranan orang tua dan peran lingkungan yang menularkan kebiasaan merokok ini, dan akhirnya para tokoh masyarakat akan menyalahkan serta menuntut pemerintah menutup perusahaan rokok.
Menutup pabrik rokok mungkin terlihat sebagai solusi pamungkas yang mudah bagi kita, tapi tak sebenarnya amat sangat rumit bila kita mengenal lebih dalam perihal pabrik rokok. Benarkah???? …Untuk membuktikannya kita perlu bekenalan lagi dengan apa yang namanya Industri_Rokok_Lokal (baca. Industri+Rokok+Lokal)
Dulu di sekolahan dalam mata pelajaran ekonomi saya sangat ingat kita di beri petunjuk bahwa industri dapat didefinisikan sebagai upaya mengubah barang mentah menjadi barang setengah jadi, dan mengolah barang setengah jadi menjadi barang jadi. Sampai disini kita mungkin bisa bayangkan perusahaan-perusahaan besar yang mengolah bijih besi menjadi lembaran baja layaknya karakatau steel yang kemudian digunakan oleh pabrik lain untuk membuat mesin-mesin dari bahan baja.
Industri rokok lokal sebenarnya juga melakukan proses yang sama bahkan lebih komprehensif, bagaimana tidak, mereka mengolah sendiri bahan baku mereka yakni daun tembakau hingga menjadi barang jadi dan bukan barang setengah jadi. Mungkin dalam istilah perekonomian kita dapat menyebut pabrik rokok sebagai perusahaan lokal yang melakukan kegiatan industri hulu hingga hilir dan sumber daya manusia yang ikut terlibat disini juga tak kalah banyaknya. Mulai dari mereka yang berkebun tembakau, pengumpul tembakau, para pekerja pabrik tembakau, para pegawai kantor pabrik, para sopir yang mendistribusikan rokok hingga kemudian para penjaja rokok di jalanan. Dalam satu pabrik rokok saja mungkin ada ribuan orang yang terlibat dan menggantungkan hidup di dalamnya apalagi pabrik/perusahaan rokok yang tercatat di Indonesia ini ada ratusan.
Coba bandingkan dengan perusahaan yang mengelola sumber daya alam negara, tarohlah perusahaan tambang. Mereka mungkin menyerap SDM yang cukup banyak cuma tidak akan pernah sebesar pabrik rokok. Dan lagi bila di lihat dari segi proses industri, kegiatan perusahaan tambang sebenarnya juga tidak semaksimal pabrik rokok dalam melakukan penambahan nilai dari sebuah produk. Kebanyakan dari perusahaan tambang yang hanya menghasilkan bahan baku , itupun hanya sebagian kecil yang industri lokal yang menggunakan serta mengolahnya. Belum lagi jutaan ton bahan mentah yang di ekspor secara besar-besaran ke luar negri setiap tahunnya.
Jika dilihat dari segi penerimaan negara, perusahaan rokok juga tidak dapat di pandang sebelah mata. Pajak cukai rokok merupakan salah satu penyumbang terbesar devisa negara. Coba kita bandingkan lagi dengan perusahaan tambang, apakah mereka penyumbang devisa yang besar ? jawabannya “mungkin ya” jika mereka semua taat bayar pajak.
Nah, jika dianalogikan dengan kondisi ekosistem dalam pelajaran biologi, menutup pabrik rokok sama halnya dengan memutus rantai makanan, ekosistem bakal terganggu. Melakukan hal tersebut hanya akan memicu efek berantai yang berdampak buruk terhadap masyarakat. Tidak hanya pengangguran tapi juga akan meningkatkan jumlah kemiskinan, kejahatan dan pastinya bakal ada demonstrasi besar-besaran (lagi).
Merepotkan bukan….seperti ketemu jalan buntu, mau maju malah nabrak tembok, mundur malah kena semprot.
Jadi mari kita pertanyakan kembali apakah kita siap untuk menutup pabrik rokok yang ada di Indonesia , apa negara kita siap melihat peningkatan jumlah pengangguran di usia produktif dan apakah kita yakin negara sudah siap dengan lapangan kerja baru untuk menampung mereka smua?????
Bagi para politikus jawabannya mungkin akan cukup mudah, “sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, kita harus melihat rokok sebagai produk yang melanggar esensi yang paling hakiki dari demokrasi. Rokok harus di cap sebagai produk yang sangat tidak demokratis karena semuanya dari rakyat, oleh rakyat, untung buat negara dan rugi (selalu) buat rakyat (kecil). Jadi mari kita memboikot rokok…. merdeka!!!” …: P
P.S. : Ditengah dilema persoalan rokok kita juga harus mengacungkan jempol pada Pemerintahan Kota Padang Panjang, mereka memberi gebrakan dengan memberlakukan peraturan pelarangan pemasangan iklan rokok serta pelarangan merokok di kantor-kantor pemerintahan. Sungguh kebijakan yang patut ditiru oleh pejabat lokal lainnya walaupun kebijakan ini tidak sepenuhnya mengobati penyakit yang sudah akut ini.